Tentu
hal tersebut penting untuk dibahas dan diajarkan, serta peranan para tokoh
masyarakat, kyai, ustadz, dll dalam mengedukasi dan mengingatkan masyarakat
akan peristiwa agung tersebut sangat patut untuk diapresiasi. Namun di masa
dewasa ini, ada hal yang jauh lebih urgen
dalam peristiwa Isra' Mi'raj tersebut untuk dibahas dan disebarluaskan pada
masyarakat, dibanding sekedar mengulang-ulang hal yang sama setiap waktu.
Ada
sebuah adagium yang sering digunakan oleh para ahli sejarah yaitu, "sejarah akan selalu aktual".
Maknanya, meski pembahasan dalam sejarah adalah hal yang boleh dikata "sudah basi" namun kita
sebagai manusia akan selalu butuh terhadap sejarah. Bukan untuk sekedar
dipandang dan dikenang semata layaknya barang antik. Namun untuk menjadi
refleksi bagi masa depan, demikianlah yang pernah disampaikan oleh Dr. Tiar
Anwar Bachtiar salah seorang Doktor Sejarah FIB UI dalam salah satu kajiannya
terkait sejarah.
Begitu
pula halnya dengan peristiwa Isra' Mi'raj yang merupakan salah satu mukjizat
Allah kepada Rasul-Nya. Bukan hanya terkait masalah keimanan semata, namun juga
ada seberkas harapan dalam peristiwa tersebut. Apa hubungannya antara Isra'
Mi'raj dan harapan? Sangat berhubungan dan bukan hanya di masa lalu, namun juga
di masa sekarang kita hidup hingga masa generasi penerus kita, harapan ini akan
tetap ada dan memberi semangat bagi kebangkitan Umat Islam.
Hal
ini sebagaimana yang dituliskan oleh Prof. Abdul Fatta El-Awaisi dalam bukunya
yang berjudul Introducing
Islamicjerusalem (2005) tepatnya di BAB 3 dengan judul “The Land of (Amal) Hope: Discussion of the Prophet Muhammad’s Plan for
Islamicjerusalem”. Ia menuliskan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami
oleh Rasulullah Saw. adalah starting
point yang sangat penting dalam
perjalanan sejarah Umat Islam. Mengapa?
Karena
pada masa tersebutlah Umat Islam berada di saat yang paling kritis, penuh
derita dan tekanan dari berbagai sisi. Terlebih dengan wafatnya dua orang
terdekat dan terpenting dalam hidup Rasulullah, yakni Abu Thalib yang selama
ini melindungi dan menjaga Rasulullah. Kemudian tak berselang lama Sayyidah Khadijah
ra. yang selama ini mendukung baik secara mental maupun finansial pun turut
wafat.
Ditambah
lagi dengan penolakan dan cemoohan dari penduduk Thaif ketika Rasulullah datang
dan mendakwahkan Islam serta meminta dukungan. Bahkan Rasulullah sendiri
menganggap bahwa peristiwa di Thaif adalah peristiwa yang paling berat dalam
hidup beliau melebihi duka di Perang Uhud. Segala ujian betubi-tubi itu pun
berbalas indah, dimana Allah memberikan mukjizat luar biasa yang belum pernah
dialami oleh nabi atau rasul manapun sebelumnya, Isra’Mi’raj. Sebagaimana yang
termaktub dalam Qs. Al-Isra:1 yang artinya:
"Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Masih
dalam buku dan bab yang sama yang ditulis oleh Prof. El-Awaisi, ia menjelaskan
bahwa sejak terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj, Al-Aqsha menjadi lokasi dan
sumber harapan bagi Umat Islam sampai kapanpun. Karena Al-Aqsha akan selalu
dekat dan terhubung dengan iman seorang Muslim. Di masa kini, kita bisa melihat
bagaimana perpecahan terjadi di tubuh Umat Islam, entah itu di adu domba dengan
label kafir, radikal, teroris, wahabi, salafi, atau dibuat sibuk dengan urusan
sendiri seperti ekonomi, politik, atau sosial yang tidak berkesudahan.
Agaknya
benar apa yang pernah dikatakan oleh Dr. Tiar Anwar Bachtiar, bahwa Umat Islam
kalau memang ingin bersatu maka dibutuhkan common
issue. Itulah Al-Aqsha, yang bertahun-tahun telah lepas dari tangan Umat
Muslim dan dijajah oleh para Zionis Israel. Jika kita berkaca pada sejarah di
masa Rasulullah Saw. masih hidup, maka akan kita dapati bahwa kondisi kita
kurang lebih sama. Jika dahulu Al-Aqsha dikuasai oleh Romawi, maka kini
dikuasai oleh Israel. Jika dulu Umat Islam terpojok, tertindas dan lemah bahkan
tidak memiliki nilai sedikit pun di mata dunia, maka hari ini pun sama.
Namun
justru ditengah kesusahan dan kepayahan itu Allah perjalankan Rasulullah ke
Masjidil Aqsha dan dari sanalah titik balik dari rencana masa depan di mulai,
yaitu membebaskan Al-Aqsha. Bermula dari sana pula, Rasulullah mulai mendirikan
pondasi-pondasi bagi terbebasnya Al-Aqsha oleh Umat Islam di masa mendatang. Mulai
dari persiapan dasar seperti ilmu hingga persiapan militer seperti pengiriman
pasukan Usamah bin Zaid ke Mu’tah.
Di
moment Isra’ Mi’raj inilah momentum Umat Islam untuk mengisi ulang motivasi,
ilmu, dan semangatnya dalam membebaskan Al-Aqsha. Tidak perlu berpikir
jauh-jauh bahwa membebaskan Al-Aqsha harus langsung dengan pistol, bom, granat,
atau senjata militer lainnya. Karena yang paling krusial saat ini adalah
minimnya keterkenalan kita dengan Al-Aqsha (ilmu yang benar tentang Al-Aqsha).
Dalam
salah satu seminarnya di Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. El-Awaisi
menyebutkan bahwa salah satu krisis terbesar yang dialami umat ini adalah hanya
bisa bereaksi namun tidak mampu menujukkan aksi nyata. Beliau pun menyinggung
peristiwa dibakarnya Al-Aqsha oleh Zionis Israel, dan apa yang dilakukan oleh
Umat Muslim? Demonstrasi… Demonstrasi… Demonstrasi… bukan bermaksud melarang
demonstrasi tentunya. Hanya saja, jika hanya berhenti pada sebatas demonstrasi,
mengecam, dan ucapan lisan semata. Lantas apa pengaruhnya?
Maka
ilmu dan pemahaman terkait Al-Aqsha menjadi satu langkah dasar sebelum
mempersiapkan langkah lainnya. Hal serupa juga dilakukan oleh Al-Ghazali,
ketika beliau menyaksikan Al-Aqsha terlepas dari tangan Umat Islam, hingga
lahirlah karya beliau Ihya Ulumddin. Sebab,
apabila ilmu telah hidup di hati Umat Islam, maka kemerdekaan Al-Aqsha boleh
jadi sudah dekat. Karena kemerdekaan atau liberation
bukanlah peristiwa yang terjadi dalam satu atau dua hari. Namun ia adalah
sebuah hasil dari persiapan jangka panjang.
Kudus,
11 Maret 2021
Penulis: Dwi Wahyuningsih,HMPS IQT IAIN KUDUS
0 Komentar