Our Hope: Isra’ Mi’raj dan Al-Aqsha

Source: Pixabay.com

Di banyak kesempatan dalam pengajian yang diadakan untuk memperingati Hari Besar Umat Islam, yakni Isra' Mi'raj, umumnya pembahasan hanya berputar-putar pada hal yang sama. Seperti keimanan terkait peristiwa Isra' Mi'raj Rasulullah, perintah shalat lima waktu, sejarah yang melatari peristiwa Isra' Mi'raj, atau hal-hal ghaib yang Allah tampakkan dalam perjalanan tersebut.

Tentu hal tersebut penting untuk dibahas dan diajarkan, serta peranan para tokoh masyarakat, kyai, ustadz, dll dalam mengedukasi dan mengingatkan masyarakat akan peristiwa agung tersebut sangat patut untuk diapresiasi. Namun di masa dewasa ini, ada hal yang jauh lebih urgen dalam peristiwa Isra' Mi'raj tersebut untuk dibahas dan disebarluaskan pada masyarakat, dibanding sekedar mengulang-ulang hal yang sama setiap waktu.

Ada sebuah adagium yang sering digunakan oleh para ahli sejarah yaitu, "sejarah akan selalu aktual". Maknanya, meski pembahasan dalam sejarah adalah hal yang boleh dikata "sudah basi" namun kita sebagai manusia akan selalu butuh terhadap sejarah. Bukan untuk sekedar dipandang dan dikenang semata layaknya barang antik. Namun untuk menjadi refleksi bagi masa depan, demikianlah yang pernah disampaikan oleh Dr. Tiar Anwar Bachtiar salah seorang Doktor Sejarah FIB UI dalam salah satu kajiannya terkait sejarah.

Begitu pula halnya dengan peristiwa Isra' Mi'raj yang merupakan salah satu mukjizat Allah kepada Rasul-Nya. Bukan hanya terkait masalah keimanan semata, namun juga ada seberkas harapan dalam peristiwa tersebut. Apa hubungannya antara Isra' Mi'raj dan harapan? Sangat berhubungan dan bukan hanya di masa lalu, namun juga di masa sekarang kita hidup hingga masa generasi penerus kita, harapan ini akan tetap ada dan memberi semangat bagi kebangkitan Umat Islam.

Hal ini sebagaimana yang dituliskan oleh Prof. Abdul Fatta El-Awaisi dalam bukunya yang berjudul Introducing Islamicjerusalem (2005) tepatnya di BAB 3 dengan judul “The Land of (Amal) Hope: Discussion of the Prophet Muhammad’s Plan for Islamicjerusalem”. Ia menuliskan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami oleh Rasulullah Saw. adalah starting point yang sangat penting  dalam perjalanan sejarah Umat Islam. Mengapa?

Karena pada masa tersebutlah Umat Islam berada di saat yang paling kritis, penuh derita dan tekanan dari berbagai sisi. Terlebih dengan wafatnya dua orang terdekat dan terpenting dalam hidup Rasulullah, yakni Abu Thalib yang selama ini melindungi dan menjaga Rasulullah. Kemudian tak berselang lama Sayyidah Khadijah ra. yang selama ini mendukung baik secara mental maupun finansial pun turut wafat.

Ditambah lagi dengan penolakan dan cemoohan dari penduduk Thaif ketika Rasulullah datang dan mendakwahkan Islam serta meminta dukungan. Bahkan Rasulullah sendiri menganggap bahwa peristiwa di Thaif adalah peristiwa yang paling berat dalam hidup beliau melebihi duka di Perang Uhud. Segala ujian betubi-tubi itu pun berbalas indah, dimana Allah memberikan mukjizat luar biasa yang belum pernah dialami oleh nabi atau rasul manapun sebelumnya, Isra’Mi’raj. Sebagaimana yang termaktub dalam Qs. Al-Isra:1 yang artinya:

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Masih dalam buku dan bab yang sama yang ditulis oleh Prof. El-Awaisi, ia menjelaskan bahwa sejak terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj, Al-Aqsha menjadi lokasi dan sumber harapan bagi Umat Islam sampai kapanpun. Karena Al-Aqsha akan selalu dekat dan terhubung dengan iman seorang Muslim. Di masa kini, kita bisa melihat bagaimana perpecahan terjadi di tubuh Umat Islam, entah itu di adu domba dengan label kafir, radikal, teroris, wahabi, salafi, atau dibuat sibuk dengan urusan sendiri seperti ekonomi, politik, atau sosial yang tidak berkesudahan.

Agaknya benar apa yang pernah dikatakan oleh Dr. Tiar Anwar Bachtiar, bahwa Umat Islam kalau memang ingin bersatu maka dibutuhkan common issue. Itulah Al-Aqsha, yang bertahun-tahun telah lepas dari tangan Umat Muslim dan dijajah oleh para Zionis Israel. Jika kita berkaca pada sejarah di masa Rasulullah Saw. masih hidup, maka akan kita dapati bahwa kondisi kita kurang lebih sama. Jika dahulu Al-Aqsha dikuasai oleh Romawi, maka kini dikuasai oleh Israel. Jika dulu Umat Islam terpojok, tertindas dan lemah bahkan tidak memiliki nilai sedikit pun di mata dunia, maka hari ini pun sama.

Namun justru ditengah kesusahan dan kepayahan itu Allah perjalankan Rasulullah ke Masjidil Aqsha dan dari sanalah titik balik dari rencana masa depan di mulai, yaitu membebaskan Al-Aqsha. Bermula dari sana pula, Rasulullah mulai mendirikan pondasi-pondasi bagi terbebasnya Al-Aqsha oleh Umat Islam di masa mendatang. Mulai dari persiapan dasar seperti ilmu hingga persiapan militer seperti pengiriman pasukan Usamah bin Zaid ke Mu’tah.

Di moment Isra’ Mi’raj inilah momentum Umat Islam untuk mengisi ulang motivasi, ilmu, dan semangatnya dalam membebaskan Al-Aqsha. Tidak perlu berpikir jauh-jauh bahwa membebaskan Al-Aqsha harus langsung dengan pistol, bom, granat, atau senjata militer lainnya. Karena yang paling krusial saat ini adalah minimnya keterkenalan kita dengan Al-Aqsha (ilmu yang benar tentang Al-Aqsha).

Dalam salah satu seminarnya di Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. El-Awaisi menyebutkan bahwa salah satu krisis terbesar yang dialami umat ini adalah hanya bisa bereaksi namun tidak mampu menujukkan aksi nyata. Beliau pun menyinggung peristiwa dibakarnya Al-Aqsha oleh Zionis Israel, dan apa yang dilakukan oleh Umat Muslim? Demonstrasi… Demonstrasi… Demonstrasi… bukan bermaksud melarang demonstrasi tentunya. Hanya saja, jika hanya berhenti pada sebatas demonstrasi, mengecam, dan ucapan lisan semata. Lantas apa pengaruhnya?

Maka ilmu dan pemahaman terkait Al-Aqsha menjadi satu langkah dasar sebelum mempersiapkan langkah lainnya. Hal serupa juga dilakukan oleh Al-Ghazali, ketika beliau menyaksikan Al-Aqsha terlepas dari tangan Umat Islam, hingga lahirlah karya beliau Ihya Ulumddin. Sebab, apabila ilmu telah hidup di hati Umat Islam, maka kemerdekaan Al-Aqsha boleh jadi sudah dekat. Karena kemerdekaan atau liberation bukanlah peristiwa yang terjadi dalam satu atau dua hari. Namun ia adalah sebuah hasil dari persiapan jangka panjang.

Kudus, 11 Maret 2021

Penulis: Dwi Wahyuningsih,HMPS IQT IAIN KUDUS




Posting Komentar

0 Komentar