Keunggulan terbesar dalam diri manusia adalah adanya
akal yang dikaruniakan Allah Swt. kepadanya. Akal pula yang membuatnya berbeda
dari makhluk lainnya, pun bahkan derajatnya dapat melejit tinggi melebihi
malaikat. Hal ini dapat kita jumpai pada kisah awal mula penciptaan Nabi Adam
As. di mana Allah mengajarkannya nama-nama seluruhnya, sebagaimana yang
tertuang dalam Qs. Al-Baqarah: 31. Mengutip dari Al-Waqidi, dalam buku Ibnu
Muflih Al-Maqdisi yang berjudul Agar Kita
Tidak Diperdaya Setan (2009), para ahli tafsir mengatakan
bahwa Allah Swt. mengajari Adam As. semua bahasa. Kemudian setiap anak
keturunan Adam berbicara dengan bahasa yang berbeda. Ketika mereka telah
menyebar, maka masing-masing pun berbicara dengan bahasanya sendiri-sendiri.
Dengan demikian semua bahasa di dengar dari Nabi Adam dan dipelajari darinya.
Masih dalam surah dan ayat yang sama, di mana Allah
berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu, jika kamu memang orang-orang yang benar!” yang mana ini
adalah perintah Allah untuk melemahkan dan menjelaskan ketidakmampuan para
malaikat untuk mengetahui hakikat dari apa yang mereka lihat dan saksikan.
Lebih lanjut Ibnu Muflih menjelaskan, mengutip dari Abul ‘Aliyah, disebutkan
bahwa Allah hendak meninggikan derat Nabi Adam As. di atas derajat malaikat,
sampai-sampai Allah memerintahkan kepada para malaikat untuk bersujud kepada
Adam As. sebagai bentuk penghormatan.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya akal dalam
hidup manusia. Sejalan dengan hal ini, Hamka dalam bukunya yang berjudul Falsafah Hidup (2020) menempatkan
pembahasan akal dalam bab pertama yang ia bungkus dengan judul “Hidup”. Ini
menunjukkan betapa kehidupan manusia tidak akan sempurna tanpa hadirnya akal
sebagai modalnya. Hamka membuka pembahasannya dengan memaparkan fakta-fakat
terkait otak manusia. Bahwa dalam otak terdapat kurang lebih 180.000 juta sel
halus yang hanya dapat dilihat satu persatu menggunakan mikroskop. Otak layaknya sebuat
telepon yang memiliki pusat pertemuan antara suara dengan alat pendengar. Ada
bagian yang menerima seperti telinga, mata, hidung, kaki, dll sedangkan
pusatnya adalah otak itu sendiri. Ia hamparkan pula penelitian-penilitian para
pakar dan dokter terkiat otak ini untuk menunjukkan bahwa hidup manusia
kesemuanya melalui jalan yang telah terentang berdasarkan takdir dan ketentuan
masing-masing.
Hamka menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk
sejenis hewan yang dikaruniai akal untuk menimbang tindak tanduknya, menjaga
diri, dan mengatur kehidupan. Akal itu pula yang menjadi dasar pertimbangan
untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Pun juga manusia dikaruniai
nafsu, karena manusia termasuk jenis binatang pula, maka ia tidaklah lepas dari
kesalahan dan kealpaan. Maka dari itu, tidak perlu untuk memaksakan diri diluar
kesanggupan, cukuplah menjaga langkah, mengawasi dan menimbang segala perbuatan
yang hendak dilakukan. Sebab itulah akal manusia menjadi penjaga diri dan
pengatur kehidupan. Maka orang yang berakal akan berpikir dahulu sebelum bertindak,
menjaga hak sendiri dan menghormati hak orang lain, tidak ikut-ikutan,
mengutamakan adab serta sopan dalam tindak-tanduknya.
Dalam bukunya yang lain yang berjudul Lembaga Budi (2019), Hamka berkata bahwa
“Kelebihan dan perbedaan manusia dari
jenis makhluk yang lain itu bilamana bergerak, maka gerak dan geriknya itu
timbul dari dalam dan bukan dari luar” yang mana hal ini berbeda dengan
binatang yang gerak geriknya dikendalikan berdasar naluri semata tanpa ada
pertimbangan apapun. Berbeda dengan manusia yang ketika hendak
bertindak maka ia akan mempertimbangkan tujuan, cara mencapai tujuan dan akibat
yang akan diterima ketika melakukan tindakan tersebut.
Hamka pun menerangkan dengan mengambil contoh, bahwa
manusia bukanlah makhluk yang dapat hidup dalam air, namun itu tidak
menghentikan manusia, dengan akalnya manusia pun mencari cara agar dapat
seperti ikan yang menjelajah perairan, misalnya dengan membuat kapal selam. Manusia
bukan pula makhluk yang dapat terbang di udara layaknya para burung, lagi-lagi
ia mencari cara agar dapat terbang di angkasa, maka dibuatlah pesawat. Dari
sini dapat kita jumpai bahwa kian waktu berlalu, akal manusia pun turut
berkembang, sehingga dapat kita temukan bahwa di setiap masa selalu ada
inovasi terbaru, mulai dari televisi, radio, hp, kereta api, dll untuk
memuaskan kebutuhan hati manusia.
Kembali lagi pada buku Hamka yang berjudul Falsafah Hidup (2020), ia menuturkan
tentang alamat atau bukti atas akal seseorang, di antaranya:
- Memilih akhlak yang mulia
- Perkataannya tidak banyak yang tidak berguna
- Dapat dilihat dari caranya mengirim utusan, memilih hadiah, dan tulisannya. Karena utusannya adalah baying-banyang dirinya, tulisannya menunjukkan susunan pemikirannya, sedangkan hadiahnya menunjukkan pertimbangannya.
- Ketika menghadapi orang lain.
Tidak berhenti sampai di situ, Hamka juga turut pula
memaparkan tentang sebab kehalusan akal. Di antaranya ada 3 bagian, yaitu:
- Kias, membandingkan sebab kepada pangkal sebab. Maksudnya adalah membandingkan atau mencari dalil dari adanya sesuatu karena melihat dari bekasnya. Dapat pula dilihat dari hal ganjil atau yang tidak semestinya.
- Menyelidiki sebagian supaya dapat meletakkan hukum pada seluruhnya.
- Menetapkan hukup pada satu bagian karena menemukan sebabnya menyerupai dengan apa yang ada pada bagian lain. Contoh: ada orang yang membicarakan aib orang lain di depan kita. maka boleh jadi demikian pula ia akan membeberkan aib kita di waktu dan orang yang lainnya.
Semua pemaparan Hamka tersebut menunjukkan betapa
penting posisi akal dalam hidup manusia. Bahkan dalam beragama dan
bermasyarakat pun tidak tertinggal peranan akal di dalamnya, maka pantaslah ia
ditempatkan dalam pembahasan pertama dalam buku Falsafah Hidup sebelum membahas tentang falsafah hidup lainnya. Untuk
menutup pembahasan tentang kaitan antara hidup dan akal manusia, agaknya
kata-kata dari Dr. M. Amir, salah seorang ahli ilmu jiwa terkenal yang dikutip
Hamka cukup penting untuk direnungkan,
“Bahwasanya perasaan
(syahwat dan kemarahan atau hawa nafsu) adalah laksana kuda yang berlari. Dan akal
laksana kusir yang memegang kekangnya.”
Kudus, 29 Juni 2021
0 Komentar