![]() |
Source: Pinterest.com |
Kesetaraan
gender harus banyak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara memberi
ruang kepada perempuan untuk berkarya tanpa melupakan kodratnya.
Demikian yang
disampaikan oleh Hendrar Prihadi selaku Wali Kota Semarang yang dilansir dari
Kompas.com pada 30 Januari 2020 lalu. Nampaknya isu mengenai kesetaraan gender
memang tidak pernah surut di Indonesia, baik dari kalangan pemerintah,
masyarakat, maupun para penganut gerakan feminis yang menuntut pemberdayaan
perempuan dan kesetaraan gender dalam lingkup keluarga maupun ruang publik. Hal
ini kerap dianggap sebagai perjuangan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia
terkhusus pada kaum perempuan yang pada zaman dahulunya teramat sangat
tertindas, menderita, bahkan tidak memiliki tempat dalam keluarga maupun
masyarakat. Inilah yang hendak diperjuangkan oleh para feminis, agar perempuan
diperlakukan setara sebagaimana para laki-laki.
Mengutip pendapat dari Adian Husaini, Rio Rahman Hadi dalam tulisannya yang berjudul Pemikiran Adian Husaini Tentang Kesetaraan Gender Dalam Tinjuan Hukum Islam (2018), dijelaskan bahwa gerakan feminisme sendiri lahir pada akhir abad ke-18 di Amerika Serikat karena kaum perempuan merasa bahwa mereka telah dihinakan, tidak memiliki suara, tidak diperhatikan baik dari segi sosial maupun agama karena semua keputusan penting tentang konsep hukum yang bertentangan dengan kaum perempuan dibuat oleh kaum laki-laki. Selain itu adanya inkuisisi gereja dengan segala kejahatan dan kekejamannya dimana sebanyak 85% korban penindasan adalah perempuan (pada tahun 1450-1800), menurut perkiraan dari dua hingga empat juta perempuan dibakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan di Eropa.
Bahkan dalam catatan Pamela J. Milne
disebutkan bahwa Bible adalah sumber terpenting bagi penindasan terhadap
perempuan. Ada pula kajian terhadap Bible yang dilakukan oleh Elizabeth Cady
Stanton yang menyebutkan bahwa ternyata Bible berisi ajaran yang menghinakan
perempuan dan ajaran inilah yang kemudian dijadikan stereotip bagi Kristen
terhadap perempuan.
Apabila menilik dari
latar belakang sejarah yang ada, maka hadirnya gerakan feminis adalah wajar.
Dimana kini kaum perempuan menuntut adanya kesetaraan hak dan kebebasan
sebagaimana yang diperoleh oleh laki-laki. Mereka ingin berperan baik dalam
keluarga maupun ruang publik, ikut terlibat dan diberdayakan dalam pembangunan
negeri. Dalam Islam sendiri hal ini tidaklah dilarang, hanya saja berbeda
dengan negeri barat yang membebaskan sebebas-bebasnya, Islam memiliki aturan
yang harus ditaati.
Yang menjadi masalah saat
ini adalah ketika gerakan feminisme diterapkan ke dalam Islam dengan serta
merta tanpa menelisik dan memahaminya secara mendalam. Karena pastinya konsep
gerakan ini lahir membawa latar belakang historisnya tersendiri, yang artinya
tidak semua paham dalam gerakan feminisme sejalan dengan syariat Islam. sangat
amat disayangkan, apabila ketidakpahaman seorang muslim terhadap Islam justru
membuatnya menyerang Islam atas dasar memperjuangkan hak perempuan (feminisme).
Maka yang wajib dilakukan oleh seorang muslim adalah menimbang apakah perkara
tersebut sesuai dengan syariat ataukah tidak dengan menjadikan Alquran dan
Sunnah sebagai patokan atau standar penilaian.
Seperti yang telah
disebutkan, bahwa faktor agama juga menjadi salah satu penyebab hadirnya
gerakan feminisme, maka Islam juga tidak bisa dielakkan dari serangan feminisme.
Dimana ada sebagian dari syariat Islam yang dianggap tidak egaliter,
deskriminatif, dan sarat akan nilai patriarki di dalamnya yang lebih
mengunggulkan kaum laki-laki. Tentu jika melihat dari sejarah dunia barat yang
demikian, agama menjadi trauma bagi kaum perempuan. Taat pada agama seolah
menjadi sebuah belenggu yang menahan kebebasan mereka. Maka Islam pun dipandang
tidak jauh berbeda dari Kristen. Bahkan bukan hanya Kristen, dalam agama lain
pun perempuan memang menjadi sosok yang termarginalkan, hal inilah yang membuat
gerakan feminisme begitu laris di kalangan masyarakat luas.
Namun jelas, Islam
berbeda dari agama lainnya. Jauh sebelum barat menggaungkan tentang emansipasi
dan perjuangan hak-hak perempuan, Islam sudah jauh lebih dulu hadir mengangkat
derajat dan martabat kaum perempuan serta memuliakannya.
Berangkat dari
permasalahan ini, mari menelisik kembali tentang bagaimana kedudukan perempuan pada
masa sebelum Islam hadir dan masa sesudahnya. Bagaimana Islam memperlakukan
perempuan? Serta bagaimana pula masyarakat Islam masa kini memandang perempuan?
Menjawab hal ini, ada sebuah tradisi menarik yang layak untuk dibahas terlebih ketika menyangkut isu feminisme ini, yakni tradisi Golok-Golok Menthok di Kudus. Menariknya adalah karena tradisi ini dimaknai sebagai Hari Rayanya Perempuan bertepatan dengan hari lahirnya Rasulullah Muhammad saw. Hal ini merupakan simbolisasi tersebab hadirnya Rasulullah ke muka bumi ini telah memuliakan perempuan yang mana pada masa jahiliyyah dahulu masyarakat arab menganggap anak perempuan sebagai aib, bahkan mengubur mereka hidup-hidup pun sudah menjadi kebiasaan pada masa itu.
Dengan hadirnya
risalah Islam inilah perempuan memiliki kedudukan penting dan mulia, baik dalam
lingkup keluarga, negara bahkan peradaban. Hal tersebut tentunya tidak hanya
berlaku di jazirah arab semata, namun di seluruh penjuru bumi ini hingga akhir
zaman kelak, hadirnya Islam telah memanusiakan perempuan sebagaimana
seharusnya, setara dalam posisi beragama di hadapan Allah, namun juga tidak
melupakan fitrah perempuan. Sehingga perempan dapat memperoleh hak dan
kewajibannya tanpa harus menanggalkan fitrahnya. Atas dasar inilah tradisi Golok-Golok
Menthok pun hadir, sehingga masyarakat baik muda, dewasa bahkan yang sudah
lanjut usia sekalipun dituntut untuk terus mengenang betapa Islam telah
memuliakan perempuan sekaligus mengamalkan sebagaimana tuntunan syariat Islam.
Perempuan, Islam dan Peradaban
Jika ingin mengetahui
bagaimana rendahnya kedudukan perempuan di mata masyarakat jahiliyyah dahulu
maka dapat ditemukan dalam Alquran, di antaranya dapat dilihat dalam QS.
An-Nahl: 57-59, QS. At-Takwir: 8-9.
Pada masa itu,
perempuan dianggap sebagai pembawa petaka karena dalam pandangan masyrakat
jahiliyyah membesarkan anak perempuan ditakutkan akan menyebabkan kemiskinan,
karena selain tidak dapat diajak berperang sehingga dapat dibanggakan oleh
keluarga, juga dianggap tidak produktif dan tidak mandiri. Di jazirah arab pada
masa itu yang mana masyarakatanya sering terlibat peperangan satu sama lain,
memiliki anak perempuan juga dikhawatirkan akan ditawan musuh dalam peperangan
tersebut, demikan halnya yang diungkapkan oleh Quraish Shihab.
Selain itu, dalam
kebudayaan masyrakat arab pada masa itu perempuan juga diperlakukan layaknya
barang warisan. Yang ketika ia dinikahi oleh seorang laki-laki dan laki-laki
tersebut meninggal dunia, maka perempuan tersebut akan diwariskan kepada
anak-anaknya. Demikian itulah kebiasaan masyrakat arab yang begitu merendahkan
perempuan.
Hingga akhirnya Islam
pun hadir menghancurkan sikap masyrakat arab yang begitu mendeskriminasi
perempuan. Diantaranya tertuang dalam QS. An-Nahl: 58-59, kemudian QS. An-Nisa’: 22, Dalam hal persaksian, yang
mana dahulu perempuan tidak diakui dan tidak mendapat hak untuk bersaksi maka Islam
hadir memberikan hak tersebut terhadap kaum perempuan sebagaimana yang tertera
dalam QS. Al-Baqarah: 28. Selain itu, dalam hal warisan, Islam juga menjadikan
perempuan memiliki hak waris, yang mana pada masa jahiliyyah perempuan justru
dijadikan barang warisan. Hal ini tertera dalam QS. An-Nisa:7, 11-12.
Dalam hal berumah
tangga pun Alquran mengatur bagaimana seharusnya seorang laki-laki memperlakukan
perempuan, diantaranya tertuang dalam QS. An-Nisa:19-21. Kemudian dalam hal
mengaktualisasikan diri sebagaimana yang diidam-idamkan oleh gerakan feminisme,
Islam pun telah memberikan kesempatan dan peluang yang sama. Bahwa baik
laki-laki maupun perempuan setara dihadapan Allah swt. Dimana penilaian-Nya
didasarkan bukan pada jenis kelamin, suku, ras, nasab, paras, ataupun harta,
namun pada ketaqwaan. Sebagaimana dalam QS.
An-Nahl:97 dan QS. Al-Ahzab: 35.
Apa yang telah
dipaparkan hanyalah sepenggal bagian dari apa yang telah Allah atur bagi
manusia dalam bidang sosial dan keluarga. Masih banyak sekali dalil yang
menerangkan tentang keutamaan perempuan. Selain itu dalam peradaban umat ini,
perempuan memiliki peran penting untuk menumbuhkan generasi penerus yang
berkualitas. Jika hancur kaum perempuan, maka hancur pula peradaban suatu umat
sebagaimana yang tengah terjadi hari ini. Ketika perempuan semakin jauh dari Islam
dan terpesona dengan hingar bingar dunia, tidak merasa bersalah ketika
melanggar syariat, maka yang timbul hanyalah kebobrokan generasi selanjutnya.
Maka perempuan tidak akan pernah luput dari perhatian umat muslim jika hendak
membicarakan tentang kemajuan umat.
Golok-Golok Menthok: Islam Memanusiakan Perempuan
“golok-golok
menthok, bancaane bocah wedok”
Sebait penggalan lagu
dari sebuah tradisi di Kabupaten Kudus yang masih tetap eksis hingga sekarang
ini, yaitu Golok-Golok Menthok. Yang mana tradisi ini hadir dalam rangka
memperingati hari lahir Rasulullah saw. yang uniknya adalah bahwa tradisi ini hadir
sebagai wujud rasa syukur terlebih bagi kaum perempuan karena hadirnya Rasulullah
telah mengangkat harkat dan martabat perempuan yang mana pada masa jahiliyyah
dahulu perempuan dianggap begitu hina dan tidak dianggap baik dalam keluarga
maupun dalam sosial masyarakat.
Golok-Golok Menthok
adalah tradisi yang dilaksanakan dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad saw. yang diadakan setiap tanggal 12 Rabiul Awal yang diikuti oleh
anak-anak sambil membawa keranjang anyaman bamboo warna warni atau biasa
disebut nanya. Nanya tersebut kemudian diisi dengan ketan dan serondeng, tekadang
ditambahi pula dengan jajan pasar. Meski tradisi ini diperuntukkan untuk anak
perempuan sebagaimana lagu yang sering kali didendangkan tersebut. Meski
demikian tidak ada larangan bagi anak laki-laki untuk mengikutinya.
“Golok-golok
menthok, bancaane bocah wedok. Cah lanang ra entuk njanthok, nek njanthok udele
kethok”
Yang artinya:
“Golok-golok
menthok, selamatannya anak perempuan, anak laki-laki tidak boleh minta, kalau
minta pusarnya terlihat”
Teknis dari pelaksanaan
tradisi ini ialah dengan membawa nanya
yang sudah diberi isian ke masjid, kemudian didoakan oleh tokoh agama (pak
Kyai) setempat. Ada pula yang setelah itu melakukan arak-arakkan sambil
mendendangkan lagu tersebut, ada pula yang tidak. Hal itu kembali pada
kebijakan masing-masing desa dalam menyelenggarakan acara. Karena yang
terpenting dari tradisi Golok-Golok Menthok bukanlah teknis acaranya, melainkan
makna dari tradisi tersebut.
Mengutip tulisan dari
seorang dosen IAIN Kudus bernama Nur Said yang berjudul Pesan Maulid Golok-Golok Menthok di Tengah Pandemi (2020), dalam
tulisannya beliau menjelaskan bahwa Golok-Golok Menthok berasal dari kata golok yang dalam bahasa Jawa berate
parang atau senjata yang pada masa jahiliyyah dahulu dipakai algojo untuk membunuh
bayi perempuan. Kemudian ketika Rasulullah saw diutus maka tradisi jahiliyyah
itu pun habis atau dalam bahasa jawa disebut menthok. Inilah pemaknaan dibalik istilah dibalik kata Golok-Golok
Menthok yang mana momen kelahiran nabi menjadi hari dimana kaum perempuan
terbebas dari kegelapan menuju cahaya Islam.
Ada pula pemaknaan
bahwa golok dianggap sebagai pesan bahwa Islam yang ramah perempuan harus
ditanamkan secara tajam (arrasikhun) hingga menthok, sampai dalam dada menembus
hati sanubari sehingga dapat terwujudkan dalam kehidupan nyata.
Nanya
sebagai wadah yang terbuat dari anyaman bambu warna warni agar disukai anak-anak,
karena terbuat dari bambu yang dalam bahasa jawa disebut sebagai deling (kendel eling), umat Islam diharuskan
untuk selalu berani (kendel)
menghadapai situasi apapun namun juga tetap ingat (eling) pada Allah swt. Sedangkan isiannya yang berupa ketan bermakna
iketan (ikatan) artinya perlu untuk
membangun ikatan cinta kasih kepada Allah, sesama manusia, serta lingkungan. Maka
dari itulah ketan dan deling tidak bisa dipisahkan karena memiliki keterikatan
makna satu sama lain. Bukan hanya untuk menghidupkan sumber ekonomi para
pengrajin bambu dan petani, namun tradisi ini dimanfaatkan oleh para ulam untuk
mengajrkan nilai luhur Islam kepada masyrakat luas. Karena jika pengajaran Islam
hanya tertuang dalam kertas dan tinta, maka akan dengan mudah dimusnahkan.
Namun ketika ajaran Islam tertanam dan menyatu dalam budaya masyarakat maka hal
itu akan tetap bertahan hingga masa kini dan masa yang akan datang.
Terlepas dari masalah
itu, hadirnya tradisi ini tetap menjadi pengingat bagi masyarakat muslim,
betapa dulu derajat perempuan yang direndahkan kemudian dimuliakan dengan
hadirnya Islam. Alquran hadir menyapa kaum perempuan dan mendudukkannya sebagai
manusia sebagaimana mestinya, begitu pula dengan kaum laki-laki. Islam dengan
adil membagi peranan berdasarkan fitrah yang dimiliki masing-masing, mengatur
bagaimana hubungan satu sama lain, mengatur bagaimana hal dan kewajiban dengan
begitu mendetail. Melalui tradisi ini, membuktikan betapa Islam pada masa
dahulu ketika Rasulullah hidup hingga sekarang masih tetap sama dalam memandang
perempuan, yakni sebagai sesama makhluk ciptaan Allah yang mendapat tugas untuk
menjadi Khalifatullah dan Abdullah di muka bumi ini.
Dari pemaparan
tersebut, dapat diambil kesimpulan betapa Islam telah memuliakan perempuan jauh
sebelum bangsa barat berorasi mengumandangkan hak dan kesetaraan perempuan. Islam
selalu menempatkan kaum perempuan sebagaimana fitrahnya tanpa menghalangi
mereka untuk mengaktualisasikan dirinya atau untuk mendapatkan pahala dan
posisi mulia di sisi Allah swt. Salah satu wujud dari konsep pengajaran Islam
inilah yang terwujud dalam sebuah tradisi di Kabupaten Kudus yang bernama
Golok-Golok Menthok untuk selalu mengingatkan umat Islam, bahwa Islam telah
lengkap dan detail mengatur kehidupan manusia, tidak terlepas pula persoalan
tentang perempuan. Bahkan dalam Islam perempuan justru mendapat perhatian besar
karena merupakan kunci kemajuan suatu umat, yang apabila baik maka baik pula
kualitas peradaban suatu umat.
Kudus, 3
Desember 2020
Penulis: Dwi Wahyuningsih, Pengurus HMPS IQT IAIN
Kudus
0 Komentar