Palestina: PANCASILA-meter Indonesia

Source: Pinterest.com

Tanggal 1 Juni 2021 ini merupakan tanggal yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena merupakan peringatan Hari Lahirnya Pancasila yang merupakan ideologi bangsa. Sejak SD hingga dewasa sekalipun pembelajaran terkait Pancasila menjadi hal wajib dan tidak akan pernah telepas perannya dalam keseharian bangsa Indonesia, demikianlah yang seharusnya terjadi.

Namun, jika kita menilik pemberitaan yang marak di media massa akhir-akhir ini, dapat kita jumpai betapa nilai-nilai Pancasila tersebut kian tergerus secara perlahan tanpa di sadari. Baik dari segi makna yang mulai di tinggalkan atau bahkan barangkali tidak dipedulikan, minimnya pengetahuan tentang sejarah tentang Pancasila itu sendiri menyebabkan semangat persatuan yang teramat kental dalam Pancasila semakin meluntur. Lihat saja, betapa mudah bangsa ini saling diadu dan dipecah belah satu sama lainnya hanya karena sejempol jari.

Di tahun 2021 ini, salah satu isu yang ramai di perbincangkan publik adalah Palestina, bukan hanya di Indonesia, pun yang di luar negeri dari berbagai penjuru negeri lantang berbicara. Tak pandang ia muslim atau bukan, apalagi soal kewarganegaraan. Hanya tentang kemanusiaan, dan itu sudah cukup untuk mengerahkan beratus-ratus manusia menyesaki jalanan.

Namun mirisnya, yang terjadi di Indonesia adalah terpecahnya warga Indonesia menjadi 2 kubu, pro Israel dan pro Palestina. Padahal telah terang sejelas sinar mentari, bahwa apa yang terjadi pada bangsa Palestina adalah penjajahan. Lantas, mengapa hal ini penting di bahas, terutama pada momentum peringatan Hari Lahirnya Pancasila? Apa kaitannya dengan Pancasila kita? Bukankah ada yang berkata Palestina bukan urusan kita, bangsa kita sudah penuh sesak dengan banyak masalah, itu urusan politik negara Palestina, dan kata-kata ketidakacuhan lainnya.

Jawabannya adalah SANGAT PENTING. Mengapa? Mungkin untuk menjawabnya kita perlu membuka kembali lembaran sejarah negeri ini. Tidak perlu jauh-jauh mundur ke belakang, cukup kita tengok saja sejenak apa yang terjadi pada masa-masa proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebagaimana yang disebutkan dalam buku berjudul Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri yang ditulis  oleh M. Zein Hassan Lc, Lt. pada tahun 1980.

Satu tahun sebelum proklamasi terkumandangkan, atau kata merdeka lantang dikabarkan, seorang Mufti Besar Palestina bernama Syaikh Amin Al-Husaini telah terlebih dahulu mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia, bahkan beliau pula yang menyebarkan “ucapan selamat” atas kemerdekaan tersebut selama dua hari berturut-turut melalui Radio Berlin berbahasa Arab. Belanda yang teramat enggan kehilangan Indonesia sebagai negeri jajahan pun membantah berita itu dan mengatakan bahwa itu baru sebatas janji Jepang. Namun dengan adanya peran dari harian besar seperti Al-Ahram yang terkenal ketelitiannya tersebut, maka bantahan Belanda tersebut diabaikan oleh rakyat Timur-Tengah.

Akibat dari dukungan Syaikh Amin Al-Husaini pula, negara-negara Timur-Tengah lainnya pun turut serta mengakui kedudukan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Bahkan ketika proklamsi telah dikumandangkan hubungan Indonesia dengan negara Timur-Tengah kian erat dan dengan penuh suka cita mendukung Indonesia dalam mempertahankan kemerdekannya yang tidak lepas dari gangguan Belanda untuk kembali berkuasa.

Contohnya pada 16 Oktober 1945, terjadi petemuan bersejarah yang dipimpin oleh Jenderal Saleh Herb Pasya, Ketua Umum Perhimpunan Pemuda Islam dan mantan menteri pertahanan Mesir. Pertemuan tersebut dilaksanakan di Gedung Pusat Perhimpunan Pemuda Islam yang dihadiri banyak tokoh penting dari negara-negara Timur Tengah, seperti Mesir, Palestina, Iran, Tunisia, Al-Jazair, dan Lebanon. Dari pertemuan itu diserukanlah gerakan untuk mendukung perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan terutama negara-negara arab dan islam agar mengakui Negara Indonesia.

“Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia” ujar Muhammad Ali Taher, sang saudagar kaya dari Palestina itu yang dengan berela hati menyerahkan seluruh hartanya pada Indonesia kala awal mula terjadi Agresi Militer Belanda II pada September 1948.

Intinya, kemerdekaan Indonesia tidak terlepas peranannya dari Islam dan bantuan negara lain khususnya negara Timur-Tengah sebagai yang paling awal memberikan dukungannya dalam perjuangan bangsa Indonesia, terlebih lagi Palestina.

Maka tak salah rasanya ungkapan Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno bahwa “selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel” yang mana kata-kata ini dengan konsisten diamini oleh presiden setelahnya hingga saat ini.

Pun kata-kata yang di sampaikan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution, bahwa untuk mewujudkan amanah konstitusi dalam UUD 1945, sudah sewajarnya Indonesia memberikan dukungan dan bantuan kepada perjuangan kemerdekaan di Timur-Tengah meski Indonesia sendiri sedang dalam keadaan genting.

Namun apakah yang terjadi di Indonesia saat ini? Sebuah negara yang dalam salah satu sila dasar negaranya tercantum “kemanusiaan yang adil dan beradab” atau yang dalam konstitusinya termaktub secara jelas “…ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…” Atau jangan-jangan ribuan aksi masa di luar negeri itu, yang bukan bangsa Indonesia dan asing terhadap mengenal Pancasila, barangkali jauh lebih Pancasilais dan NKRI di banding seorang yang hidup dan lahir di Indonesia? Padahal dengan percaya diri kita berkata bahwa kita adalah bangsa yang hidup berasaskan Pancasila? ah, betapa mengerikan kalau demikian.

Kita bukan bangsa yang lahir dari keegoisan dan individualisme. Tapi kita adalah bangsa yang lahir dan tumbuh justru karena kepedulian dan gotong royong, itulah budaya kita sejak lama. Pun kita sebagai bangsa yang telah mengalami penjajahan jauh lebih lama dari Palestina hari ini harusnya jauh lebih mampu bersimpati dan mendukung perjuangan bangsa Palestina melawan penjajahan Yahudi. Bukan justru berpecah belah layaknya apa yang kita lihat saat ini. Harusnya kita berse-iya se-kata, bahwa penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan!

Momentum 1 Juni ini adalah saat bagi kita untuk merenungi apa makna Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Juga tentang apa konsekuensi dan tanggung jawab karena menjadikan Pancasila sebagai landasan negara. Atau barang kali Palestina ini adalah tes untuk menguji seberapa Pancasila kita? Seberapa NKRI kita? Dan seberapa MANUSIA kita?

Kudus, 1 Juni 2021

Penulis: Dwi Wahyuningsih, Pengurus HMP IQT IAIN Kudus



Posting Komentar

0 Komentar