Peran Gusjigang dalam Pemberdayaan Masyarakat

“Manusia yang cerdas dalam era globalisasi ialah orang yang pandai & bijak bendung pengaruh buruk dari globalisasi.” -Susilo Bambang Yudhoyono

Di era globalisasi yang cenderung distruktif ini, patutlah direnungi dalam-dalam apa yang dipesankan oleh Presiden RI ke-6 tersebut. Betapa jelas terlihat bagaimana mudahnya budaya asing masuk tanpa adanya sebuah filter yang menyaring baik buruknya budaya tersebut bagi masyarakat. 

Selain itu, pengaruh budaya asing lambat laun mulai mengikis akhlak dan moral bangsa Indonesia yang sering kali dapat dengan mudah dijumpai di televisi, media sosial, atau pun di masyarakat langsung. Seperti kasus penganiayaan siswa terhadap guru, kasus asusila, kasus bullying dan masih banyak lagi kasus yang diberitakan semakin membuktikan krisis moral yang terjadi di Indonesia.

Di sisi lain maraknya teknologi canggih tak jarang menjadikan manusia sebagai pribadi individualis yang asyik dengan dunianya sendiri tanpa peduli lagi dengan lingkungan sekitar. Terlebih lagi sosmed yang sering kali menenggelamkan kesadaran manusia dalam dunia maya hingga melupakan dunia nyata. Sebagai makhluk sosial, manusia mulai kehilangan jati dirinya, budaya gotong-royong yang dulu dapat dengan mudah ditemukan di berbagai tempat sekarang seolah asing dan terlupakan.

Berawal dari sikap individualis ini, munculah sikap kapitalisme yang menyebabkan kesenjangan sosial diantara masyarakat. Sikap kapitalisme menjadikan manusia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan, tanpa peduli lagi halal-haram dan baik-buruknya cara mendapatkannya. 

Orang kaya akan semakin kaya, sedang yang miskin akan semakin miskin dan tak memiliki tempat lagi di dunia ini. Sikap kapitalisme ini jugalah yang menyebabkan maraknya tindak laku korupsi para pejabat. Mereka tak lagi memikirkan tentang rakyat, tapi lebih mementigkan kuntungan dirinya sendiri dengan meraup sebanyak mungkin kekayaan negara. 

Meskipun pemerintah, menggagas tentang pembangunan Indonesia mulai dari infrastruktur, penataan ekonomi, pariwisata, investor dan segala macamnya tentu tak akan berhasil jika masyarakatnya carut-marut moral dan budi pekertinya. Bagaimana hendak membangun negeri jika unsur penggerak pembangunannya saja tak bermoral dan berakhlak? Lantas jika demikian apakah Indonesia akan hancur oleh globalisasi? Jawabannya tentu tidak, sebagaimana yang ungkapkan oleh presiden RI ke-6 bahwa manusia yang cerdas di era globalisasi harus mampu membendung pengaruh buruk globalisasi. Jika demikian, harus dengan cara apa membendung pengaruh buruk tersebut?

Gusjigang: Filosofi Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat

Kota kudus atau yang lebih dikenal dengan sebutan “kota kretek” memiliki sebuah filosofi hidup yang sudah mengakar kuat sejak pertama kali dicetuskan oleh Sunan Kudus yaitu Gusjigang. Filosofi ini mungkin akan terasa asing bila didengar oleh masyarakat lain, namun di kudus Gusjigang adalah budaya yang menjadi tonggak perkembangan kota, mulai dari ekomomi, pendidikan, sosial, dan aspek lainnya selalu ada ruh Gusjigang di dalamnya. 

Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Said (2013: 123) bahwa Gusjigang sebuah budaya yang dapat melahirkan basis nilai pengembangan bukan hanya dari sudut pandang budaya, tapi juga dari sudut pandang politik, seni, ekonomi, pendidikan. (Abid, 2017: 170)

Terdapat tiga unsur utama dalam filosofi Gusjigang, yaitu:

1. Gus: bagus

Gus berarti bagus adalah perwujudan akhlak mulia yang harus dimiliki oleh masyarakat tentang hubungan horizontal di antara mereka dan hubungan vertikal antara mereka dan Allah Yang Maha Kuasa. (Zamroni, 2016: 117)

2. Ji: mengaji

Selain disebut sebagai “kota kretek” Kudus juga disebut sebagai “kota santri”, menandakan betapa aspek intelektualitas sangat diperhatikan. Mengaji juga dapat diartikan sebagai proses mencari ilmu baik ilmu dunia maupun ilmu agama (Rondl, 2019). Sehingga dalam unsur ini tidak ada pemisahan atau pembedaan antara ilmu umum dengan ilmu agama seperti dalam pandangan kaum sekuler. Hal ini dapat dibuktikan dengan tumbuh suburnya pesantren, sekolah umum, sekolah islam terpadu, diniyyah, dan lain sebagainya di kawasan kota kudus.

3. Gang: dagang

Berdagang adalah jiwa bagi masyarakat kudus, sebagaimana pendiri kota kudus yakni Sunan Kudus juga seorang pedagang. Mereka percaya bahwa dengan berdagang akan diperoleh sumber kekayaan yang berkah. Hal ini dapat dibuktikan dengan bergitu suburnya pertumbuhan wirausaha di kudus. Selain itu berdagang juga dipandang sebagai semangat berwirausaha yang wajib dimiliki agar mampu berkreasi dan berinovasi dalam mencari sumber pendapatan. Hal ini juga selaras dengan hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa perdagangan adalah sembilan dari sepuluh pintu rezeki.

Kultur budaya dagang di kudus sangat berbeda dengan kultur budaya dagang yang dicetuskan oleh para kapitalisme barat, karena dalam aktivitas dagangnya selalu melibatkan Allah. Sehingga tujuan utama dari berdagang bukan sekedar keuntungan materi semata, namun juga untuk mendapat keuntungan ukrawi. Selain itu,dalam budaya masyarakat kudus, berdagang juga dimaksudkan sebagai sarana silaturahim antara penjual maupun pembeli, dimana saat aktivitas tersebut terjalin hubungan anatar sesama manusia.

Filosofi hidup Gusjigang dianggap sebagai solusi bagi masalah pembangunan dan pemberdayaan masyaakat di Indonesia terlebih diera distruktif ini. Jika melihat dari lingkungan budaya yang tercipta di lingkungan kota kudus, dapat dikatakan filosofi ini benar-benar menyatu dan melebur dalam diri masyarakat. Melalui berbagai aspek, salah satunya ialah pendidikan dimana bukan hanya kuantitas melainkan kualitas pesantren, sekolah, dan Lembaga-lembaga pendidikan begitu pesat perkembangannya. Bagi masyarakat, Pesantren seolah menjadi budaya khas pendidikan di Kudus yang memiliki peran yang sangat lekat dalam kehidupan.

Meskipun dalam filosofi Gusjugang terdapat tiga unsur, namun harus dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh. Dimana dalam penerapannya tiap urusan duniawi tidak boleh terpisah dari agama. Urusan duniawi jika merujuk pada arti sempit filosofi gusjigang dapat diartikan sebagai kegiatan dagang, namun jika perluas maknanya dapat diartikan sebagai ke

Gusjigang dalam Al-Quran

Gusjigang sebagai budaya yang hidup lekat dalam masyarakat tentu harus dipertanyakan apakah budaya tersebut sesuai ataukah tidak dengan Al-Quran. Meski islam adalah agama yang bisa berakulturasi dengan budaya lokal, tentu harus tetap dalam koridor syariah. Hal ini dikarenakan islam hadir bukan dalam keadaan yang hampa budaya, bahkan saat pertama kali islam diperkenalkan oleh Rasulullah kepada manusia sudah terbentuk budaya dan sosial yang terjadi. Sehingga budaya dan agama tidak boleh terpisah dari agama, namun harus berjalan beriringan demi membentuk tatanan masyarakat kultural sebagai agen pembangunan bangsa, terlebih di era globalisasi yang mulai mengikis eksistensi budaya lokal.

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dapat dilihat keselarasan antara nilai-nilai Al-Quran dengan budaya Gusjigang, yaitu:

1. Implementasi Khaira Ummah (Qs. Ali Imran:110)

Khaira Ummah atau dapat diartikan sebagai umat terbaik amemiliki 3 kriteria yaitu (1) ‘amar ma’ruf (menyuruh pada kebaikan), nahi munkar (mencegah keburukan), beriman kepada Allah. Jika dikaitkan dengan budaya gusjigang maka menyuruh pada kebaikan lebih dominan terletak pada unsur gus. Mengapa? Menyuruh pada kebaikan bukan berarti harus melalui lisan, namun juga dapat dilakukan melalui perbuatan. Dalam metode dakwah hal ini biasa disebut dakwah bil hal atau dakwah dengan perbuatan.

Islam adalah agama yang mengutamakan akhlak, bahkan slah satu tujuan risalah Rasulullah adlah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Maka dari itu, selain itu dalam unsur filosofi Ji dan Gang juga terdapat implementasi khaira ummah. Pesantren di kudus sangat meneaknkan arti penting akhlak, sehingga dalam kegiatan menunatut ilmu harus dibarengi pula dengan akhlak terhadap guru agar ilmu menjadi berkah.

Sedangkan dalam unsur Gang yang menjadi srana silaturahim dan sarana menjalin hubungan dengan manusia tentu akhlak sangat dipakai di sini. Dalam konteks perdagangan maka kepuasan pelanggan adalah yang utama diabnding maraup keuntungan sebanyak mungkin hingga melupakan kualitas. Sehingga dalam budaya ini terjadi implementasi generasi Khaira Ummah sesuai yang difirmankan Allah dalam Al-Quran surah Ali Imran: 110 yang mrnyatu dengan sosisal kebuadayaan masyarakat

2. Pemaduan Peran Manusia sebagai Khalifatullah dan Abdullah (QS. Adz-Dzariat: 56 dan Al Baqarah: 30)

Manusia diutus oelh Allah kedunia ini memiliki dua peranan utama yaitu sebagai Khalifatullah dan Abdullah. Dalam filosofi Gusjigang yang dicetuskan oleh Sunan Kudus tidak ada pemisahan antaa urusan agama dengan urusan dunia. Sebagaimana dalam islam juga tidak ada pemisahan anatara urusan dunia dan akhirat. Karena dunia adalah sarana untuk mendekat pada Allah. Selain itu tujuan adari agama adalah sebagai petunjuk agar ketika nanti di negeri akhirat tidak mengalami penyesalan.

3. Perintah menjalin Hablumminallah dan Hablumminannas (QS. Ali Imran 112)

Dalam Qs Ali Imran dapat disimpulkan bahwa umat islam diperintahkan untuk menjalin hubungan dengan Allah dan sesama manusa. Gusjigang dengan segala unsurnya mengarah pada terciptanya jalinan masyarakat yang harmonis baik dalam hal keagamaan maupun sosial budaya. Sehingga manusia satu sama lain tidak kehilangan jati dirinya sebagai makhluk sosial terlebih di era globalisasi. Saat individualisme semakin menggerogoti jiwa sosial manusia maka mereka akan menjadi makhluk yang tak lagi peduli akan kondisi sekitar dan jauh lebih memntingkan diri sendiri. Selain itu,sikap intoleransi dan radikalisme dapat dengan mudah bercokol di masyarakat yang lambat laun akan memecah belah bangsa.

Dengan demikian dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa filosofi Gusjigang dapat menjadi salah satu solusi efektif bagi permasalahan di era globalisas dan dapat difungsikan sebagai filter atau benteng pertahanan dari pengaruh buruk globalisasi. Selain itu, filosofi Gusjigang dapat dijadikan sebagai langkah pemerintah untuk membangun dan memberdayakan bangsa Indonesia melalui pembenahan moral, intelektuaitas, dan ekonomi di masyarakat. Menghapuskan unsur unsur kapitalisme dan individualisme sehigga dapat dibangun tatanan masyarakat yang agamis dan berbudaya lokal.

Filosofi gusjigang tak hanya bisa diterapkan di Kudus, namun bisa juga diterapkan di daerah lain. Melalui partisipasi masyarakat dan pemerintah menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang solid dan berkualitas. Langkah awal yang harus diperbaiki adalah keagamaan dari tiap individu, karena buah dari iman adalah akhlak mulia atau secara umum dapat diartikan sebagai kualitas SDM itu sendiri. Dengan diiringi oleh semangat penerapan nilai-nilai Al-Quran yang terkandung dalam Gusjigang diharapkan dapat menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki SDM cerdas di era globalisasi.

Daftar Pustaka

Nuskhan Abid, “Mengintegrasikan Kearifan Lokal Gusjigang Dan Nilai-Nilai Soft Skill Dalam Proses Pembelajaran” Elementary, Vol. 5 No. 2 Januari-Juni 2017.

Muhammad Mustaqim dan Ahmad Bahrudin, “Spirit Gusjigang Kudus dan Tantangan Globalisasi Ekonomi” Jurnal Penelitian. Vol. 9 No. 1, Februari 2015.

Edris Zamroni Guidena, “Counseling Model Basedon GusjigangCulture: Conceptual Framework of Counseling Model Basedon Local Wisdoms in Kudus” Volume 6 No. 2, Desember 2016.

Kudus, 1 November 2019

Penulis: Dwi Wahyuningsih, Pengurus HMPs IAIN Kudus.


Posting Komentar

0 Komentar